Menjelang Idul Fitri, biasanya para pekerja mendapat THR atau Tunjangan Hari Raya. THR merupakan jenis pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan serta diberikan kepada buruh yang telah mempunyai masa kerja satu bulan secara terus menerus atau lebih, baik melalui perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak) maupun tetap.
Hari raya keagamaan yang dimaksud adalah Hari Raya Idul Fitri bagi pekerja yang beragama Islam, Hari Raya Natal bagi pekerja yang beragama Kristen Katolik dan Protestan, Hari Raya Nyepi bagi pekerja bergama Hindu, Hari Raya Waisak bagi pekerja yang beragama Budha, dan Hari Raya Tahun Baru Imlek bagi pekerja yang beragama Konghucu.
Pemerintah mewajibkan pengusaha untuk memberikan THR kepada pekerjanya sebagai salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan pekerja dan keluarganya dalam merayakan hari raya keagamaan. Ketentuan mengenai THR diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan jo. Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No. 6 Tahun 2016 Pengaturan THR Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
Berapa THR yang harus diberikan kepada pekerja?
Untuk besaran THR ditentukan dalam pasal 3 ayat 1 Permenaker 6/2016 sebesar 1 bulan upah bagi mereka yang memiliki masa kerja setahun atau lebih dan yang baru bekerja 1 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan, maka akan dihitung secara proporsional dengan rumus: masa kerja x 1 bulan :12. Tentunya yang menjadi kriteria upah sebulan adalah gaji tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih (clean wages) atau upah pokok termasuk tunjangan tetap.
Namun untuk pekerja harian, definisi upah sebulan bagi mereka yang telah memiliki masa kerja 12 bulan atau lebih adalah upah rata-rata yang diterima dalam 12 bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan dan untuk yang masa kerja kurang dari 12 bulan, merupakan upah rata-rata yang diterima setiap bulan selama masa kerja.
Pasal 4 Permenaker 6/2016 menegaskan apabila perusahaan memiliki perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB), atau kebiasaan yang memuat ketentuan jumlah THR lebih besar dari ketentuan 1 bulan upah, maka yang berlaku adalah THR yang jumlahnya lebih besar tersebut. Jadi, terkadang ada perusahaan yang memberikan THR sebesar 2 atau 3 bulan gaji dilihat dari masa kerja pekerja yang bersangkutan.
Berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya (sehubungan pandemi C-19), di mana pengusaha dapat mencicil pemberian THR kepada pekerja, maka pada tahun ini, pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan telah mengatur pemberian THR wajib diberikan secara penuh, tidak ada relaksasi, dan dibayarkan sekaligus, seiring dengan kecenderungan pemulihan industri domestik dari dampak pandemi dan pertumbuhan ekonomi mulai bergerak positif.
Kapan perusahaan harus membayar THR?
Berdasarkan pasal 5 ayat (1) Permenaker 6/2016, pembayaran THR itu diberikan satu kali dalam setahun dan disesuaikan dengan hari raya keagamaan masing-masing pekerja. Akan tetapi, ada kalanya seorang pekerja mendapatkan THR tidak di hari raya keagamaan yang dirayakan agamanya, melainkan di hari raya keagamaan agama lain.
Seperti yang disebutkan dalam pasal 5 ayat (3) Permenaker 6/2016, pemberian THR disesuaikan dengan hari raya keagamaan masing-masing pekerja kecuali kesepakatan pengusaha dan pekerja menentukan lain. Kesepakatan ini harus dituangkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Menurut pasal 5 ayat (4) Permenaker 6/2016, THR harus diberikan paling lambat tujuh hari sebelum atau H-7 hari keagamaan pekerja agar memberi keleluasaan bagi pekerja menikmatinya bersama keluarga. Ketentuan ini ditegaskan pula dalam pasal 9 ayat (2) PP Nomor 36 Tahun 2021 dan SE Menaker No. M/6/HK.04/IV/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan tahun 2021 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
Bagaimana jika perusahaan terlambat atau tidak memberikan THR?
Apabila THR dibayar terlambat, maka pengusaha dapat dikenakan denda sebesar 5% dari total THR yang harus dibayar semenjak berakhirnya batas waktu kewajiban majikan untuk membayar (Pasal 62 ayat 1 PP No. 36 Tahun 2021).
Namun pengenaan denda tersebut tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar THR keagamaan kepada pekerja. Denda yang diperoleh dapat digunakan untuk kesejahteraan pekerja/buruh, sebagaimana diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Pemerintah sendiri telah mengantisipasi potensi timbulnya masalah dalam pelaksanaan pembayaran THR keagamaan, dengan membentuk Pos Komando Satuan Tugas (Posko Satgas) ketenagakerjaan pelayanan konsultasi dan penegakan hukum THR di setiap provinsi.
Bilamana unit usaha tidak membayar THR keagaamaan kepada pekerja atau melakukan pembayaran tidak sesuai dengan ketentuan, maka korporasi akan dikenakan sanksi administratif secara bertahap, diawali dari teguran tertulis, berlanjut ke pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan produksi sampai kepada pembekuan kegiatan usaha (Pasal 79 PP 36/2021).